Felo De Se
oleh Rahman Fauzi
Sekarang, sunyinya semakin memekakkan. Apa yang terjadi beberapa jam lalu tidak terbayangkan pada malam sebelumnya. Ketika kita duduk bersama, makan pizza, dan minum soda. Kamu pamit, bilang ingin pergi ke kampus lagi.
“Terima kasih kalian telah mengajak,” katamu sembari berlalu.
Berbicara seolah kita jarang melakukannya. Seakan tak pernah ada momen mengerjakan tugas kuliah bersama, berbagi keluh kesah, atau sekadar menonton tayangan sepak bola.
Dia lalu berjalan kaki ke kampus sebagaimana hari-hari biasa. Jarak kos begitu dekat, terlebih ke sekretariat bersama unit kegiatan mahasiswa. Kamu juga biasa menghabiskan waktu dengan temanmu di kelompok pecinta alam atau siapa saja yang sering bermalam di sana. Kamu orang yang punya banyak teman, meski cenderung pendiam. Kamu bilang, hanya bicara saat perlu dan penting.
Kamu suka membaca beberapa buku puisi dan sesekali menulis cerita pendek yang kamu sendiri bilang jelek. Kekagumanmu kepada anak-anak di UKM teater selalu sulit disembunyikan, meski sebetulnya tidak perlu berlebihan.
Sebelum momen itu terjadi, kamu ikut menenggak anggur merah yang sering dilakukan utamanya jelang semester berakhir. Kata temanmu di sana, mungkin hanya satu atau dua gelas. Sekadar larut dalam suasana, sebelum ikut berdansa untuk terakhir kalinya. Kamu pulang sekitar pukul dua pagi dengan isi kepala yang sulit dimengerti.
Dua minggu lalu, kamu bilang bagaimana ya rasanya kembali jatuh cinta? Sepanjang lebih dari dua dekade hidupmu, hanya sekali kamu berpacaran. Terjadi pada awal masa kuliah dengan adik kelasmu yang masih SMA. Sulit untuk pulang pergi dari Jakarta ke kota ini setiap pekan. Kesibukan yang semakin berbeda, membuat miskomunikasi tidak terhindarkan. Hubungan kalian kandas tanpa ada konflik berarti, selain saling merasa bosan dan sudah tak nyaman tinggal berjauhan.
“Sepertinya kamu bertanya kepada orang yang salah, karena kamu tahu kisah percintaanku nol bulat besar,” jawabku dengan gaya bicara yang kamu kenal.
Itu terakhir kali kita bertemu sebelum malam kuajak berkumpul lagi dengan teman-teman dalam lingkaran terdekat. Mengenakkan kaus band yang saling kita suka, kamu sempat bilang hidup tak lagi bermakna. Konser band yang semuanya telah kamu tonton, klub sepak bola favorit yang mustahil kembali juara, film eklektik yang tak lagi menghibur, dan orang-orang terkenal yang kamu sempat anggap keren, ternyata cuma ahli pura-pura saat kamu mengenalnya.
Hari berganti seiring perspektif juga bergeser dalam benak. Selama lebih dari empat tahun, cara pandang kita kepada dunia perlahan berubah. Orang lain semakin termotivasi menyambut fase hidup baru setelah lulus, kita semakin hilang semangat yang entah alasan pastinya apa. Kamu tidak bisa membayangkan untuk kembali kotamu dan tinggal lagi untuk sementara waktu di rumah. Segala prestasi mengagumkan yang sempat diraih terasa percuma. Apresiasi keluarga biasa saja, karena sedari awal mereka tak suka dengan pilihan jurusan kuliah yang kamu pilih.
“Demi apapun, sepertinya aku hilang selera. Perlahan segalanya hilang makna,” ucapmu tiga bulan lalu. Saat kita makan bersama setelah menghadiri wisuda tujuh teman angkatan kita yang lulus pada gelombang pertama.
“Memang, semuanya perlu makna seperti apa? Aku cukup senang seandainya nanti setelah lulus, bisa dapat pekerjaan, dieksploitasi sedemikian rupa, dan mendapat gaji sesuai UMR. Tidak apa kalau nanti tidak menikah,” jawabku mencoba ceria.
Kamu diam dan sedikit mengangguk. “Tetap sulit membayangkannya.”
***
Kamu selalu bilang, setiap orang dewasa sepenuhnya berhak menentukan bagaimana hidupnya berjalan. Juga berhenti. Aku mencoba memahami, setelah kamu menambahkan kalau pada dasarnya tidak ada satupun anak yang meminta dilahirkan ke dunia ini. Jadi cukup untuk tidak merugikan orang lain, berbuat baik sebisanya, dan tidak banyak ikut campur. Di luar itu, terlalu banyak yang di luar kendali kita.
Videomu setelah meregang nyawa tersebar di grup media sosial. Hatiku remuk redam, menangis tersedu-sedu, dan isi kepala pecah berantakan. Sebelum pergi ke kosanmu, aku menyempatkan membuat grafis bela sungkawa lewat aplikasi olah gambar instan. Kupilih foto terbaikmu yang kusimpan .
Apa yang ada di benakku tentu tetap saja sejuta pertanyaan tanpa jawaban. Mencoba memahami percakapan-percakapan terakhir kita. Tentang kesalahan macam apa yang kulakukan, kekeliruan yang kukatakan, atau keteguhan hatimu untuk mengakhiri semua.
Setelah dimuat di Instagram universitas, kabar kematianmu menyebar secepat hembusan angin. Meski tidak sampai jadi breaking news di televisi nasional yang reporternya rekan kita sendiri. Hanya ayah dan kakakmu yang datang menjemput tubuh kakumu, karena ibu tinggal jauh bersama suami baru. Aku berbagi duka dengan teman-teman lain yang menyesal tidak sanggup berbuat apa-apa.
Pihak kampus memberi keterangan seperti yang sudah-sudah. Menyebut mereka tidak ada tunggakan uang kuliah dan telah menyediakan bimbingan konseling untuk para mahasiswa. Mereka turut terpukul terjadi lagi kasus serupa dalam waktu berdekatan. Mereka menyampaikan bela sungkawa sedalam-dalamnya kepada pihak keluarga. Sekaligus siap menyalurkan dana duka cita yang dikumpulkan dari para dosen, mahasiswa, dan ikatan alumni.
Dalam catatanku, terjadi tiga tragedi seperti ini dalam dua semester terakhir. Meski tidak saling mengenal, kepergian mereka punya benang merah sama: Berstatus mahasiswa tingkat akhir di atas semester delapan.
Untuk bisa berkuliah di sini, jelas mereka tidak bodoh. Untuk menyelesaikan studi tepat waktu, sebetulnya temanku pasti bisa saja. Sebab seberapapun mereka membingkai ceritanya, derita yang kamu rasakan pasti lebih daripada itu.
Cuaca terik menghangatkan kulit tanganku yang tersapu angin pegunungan. Bersin berkali-kali karena debu jalan setelah aku berjalan lunglai bersama kehampaan. Wilayah ini seperti terjangkit wabah. Kesepian yang khas menular menjangkiti jiwa-jiwa rentan yang dipaksa segera mengucapkan selamat tinggal kepada masa muda. Sekaligus serasa enggan menyambut periode sepenuhnya dewasa.
Seperti ada sosok yang mengintai mencari korban selanjutnya. Entah apakah masih ada yang berikutnya? Jika ya, lalu siapa? Mungkin aku nanti pada tahun ketujuh. Mungkin orang lain tak kukenali yang hatinya runtuh.
Kelak, aku mesti pergi dari sini. Seberapapun benci untuk mesti pulang, karena hidup baru penuh kesan.
Serasa enggan melihat matahari pagi. Seiring gelap malam menjelang, jumpai kosong memeluk kepasrahan.